top of page
  • Writer's picturediky wiryawan

PELURU YANG AKU TUNGGU


Sudah hampir tengah malam. Gelap. Mereka belum datang. Dua cangkir teh yang aku siapkan di meja tamu rumah kontrakanku kembali dingin. Pintu rumah sengaja aku buka lebar-lebar. Aku tetap menunggu.

*** Restoran hotel bintang lima ini sungguh ramai. Begitu juga dengan lounge hotel yang letaknya berseberangan dengan restoran. Pintu lounge masih terbuka. Tidak seperti lobby hotel yang tampak lengang. Walaupun di restoran ramai ini tidak semuanya bule. Mereka yang pribumi juga banyak. Tidak sedikit dari mereka justru wanita dan anak kecil. Keputusanku memang belum bulat 100%. Meninggalkan istri dan anak semata wayangku di kampung 1 tahun yang lalu. Tanpa pamit!!. Tugasku cuman satu, memencet tombol merah di kantung celanaku tepat pada waktu yang telah ditentukan!!. "Maaf pak, bisakah saya minta tolong diambilkan buah apel itu? Tangan saya tidak sampai meraihnya." Seseorang berkata padaku dari belakang dengan aksen yang tidak biasa. Ternyata aku berdiri menutupi meja dimana buah dan salad tersaji di sudut restoran. Dekat pintu masuk. "Silahkan.." kataku singkat sambil mengambil kranjang buah dan mempersilahkan dia untuk memilih apel yang disukainya." "Terimakasih..." Rupanya dia bule. Bule yang cukup fasih berbahasa Indonesia. Orangnya tinggi, berpakaian hem rapi dan sudah setengah baya. Dan...oh, di tangannya membawa tasbih kecil. Dia beragama Islam!! Kataku dalam hati. Masih terkesiap dengan apa yang aku lihat. Bule itu berjalan kembali ke meja tempat breakfastnya. Yang membuatku semakin kaget adalah bule itu sedang menyimak uraian seorang ustadz ternama yang pernah mengisi pengajian di kampungku. Sedang apa ustadz Umar ada di tempat ini? Tempat yang sebentar lagi aku ledakkan!! Kebimbangan dengan cepat mengisi setiap nadiku. Jantungku semakin tak menentu. Waktu semakin dekat. Dan bertambah dekat... Apakah yang akan aku lakukan ini benar? Apakah benar mereka yang harus aku perangi? Apakah perang ini yang dinamakan perang dan berjuang di jalan Allah? Apakah perjuangan ini termasuk jihad fi sabilillah? Apakah jihad fi sabilillah harus membinasakan wanita dan anak-anak? Apakah jihad fi sabilillah harus membinasakan ustadz Umar juga? Apakah jihad fi sabilillah harus mematuhi semua garis komando organisasiku? Jutaan pertanyaan memenuhi otakku. Memang cuman otak orang kampung yang mencoba melakukan sesuatu atas dasar apa yang aku anggap benar. Bukankah demikian doktrin yang diajarkan organisasi??! BLAAARRRG!! Tiba-tiba terdengar suara ledakan hebat tidak jauh dari hotel tempatku berada. Seperti gempa, semua bergetar hebat...atap restoran sebagian runtuh, kaca-kaca pecah, orang-orang di restoran terjatuh. Sebagian yang lain berlarian sambil berteriak ketakutan. Histeris... Aku yang tidak siap dengan ledakan pertama itu ikut terjatuh. 'Mereka sudah mulai...' kataku dalam hati. Tas roda yang aku bawa pun terlempar. Tas ransel di bahu kiriku pun demikian. Hanya seutas kabel yang masih menyambungkan semuanya. Telingaku masih berdengung akibat ledakan tadi. Asap dimana-mana. Kakiku tertimpa meja marmer restoran. Sementara itu tanganku terasa kaku. Tangan yang masih menggenggam alat detonator. Seakan ibu jarinya tidak ada daya untuk menekan tombol pemicunya. Tombol yang juga akan menghancurleburkan tempat ini!!

*** Sudah tengah malam. Meskipun tamuku belum datang, aku yakin ada yang mengintaiku di luar sana. Gerimis di luar sana menambah suasana menjadi semakin dingin. Pintu rumah masih aku buka lebar-lebar. 2 gelas teh poci masih tersaji di atas meja. TV di ruang tengah masih memberitakan aksi pemboman Mega Kuningan tadi pagi. Aku duduk dengan tenang. Menahan rasa sakit di kaki kiriku. Tasbih bule di restoran itu kini ada di tanganku. Bule itu tewas seketika karena tertimpa pilar restoran, sedangkan ustadz Umar hanya pingsan dan cidera ringan. Sejak taubat nashuha tadi siang aku memang tidak berhenti bertasbih menggunakan gelang itu. Tas roda yang berisi bom ada di dekat kakiku. Di sebelahnya, setumpuk seragam security hotel yang aku gunakan untuk menyamar dan melarikan diri tadi siang telah aku lipat dengan rapi. Aku masih menunggu. Siapapun yang nanti datang akan aku sambut sebaik-baiknya. Aku buang jauh-jauh ingatan tentang anak dan istriku, awal mula bergabung di organisasi, masa pelatihan perang dan pelajaran merakit bom, semua kebencianku akan negara barat yang memusuhi Islam, hingga konsekuensi jika aku gagal menunaikan tugas organisasi. Aku memejamkan mata. Aku hanya ingin bertasbih dan menunggu kedatangan tamuku.

BRAAAKK! Pintu belakang rumah didobrak paksa. Dalam waktu sekejap, belasan orang sudah mengerumuniku dengan posisi siaga. Mereka masuk dari belakang dan pintu depan yang aku buka dengan lebar. Tangan mereka mengacungkan senjata ke arahku. "ANGKAT TANGAN!!! Aku membuka mata. Nanar. Ternyata anggota team Detasemen Khusus 88 Antiteror lah yang lebih dahulu menjadi tamuku. Tamu yang sejak tadi aku tunggu. "Silahkan duduk....Silah..kann di..m.minnum" ujarku terbata-bata. "ANGKAT TANGAAAANN!!! mereka teriak. Tangan kananku tetap saja bergerak untuk mempersilahkan para penegak hukum itu duduk. Jantungku berdetak cepat. Dan semakin cepat. Namun tiba-tiba... DHUAARR!! DHAARR!! AAAGHH!!!...Dua buah peluru tajam menembus perut dan dada ini. Aku jatuh tersungkur. Darah muncrat membasahi lantai. Sakit...sakit sekali. Seluruh anggota Densus kaget bukan kepalang. Beberapa diantaranya langsung membalas tembakan senjata itu. Peluru ini...Peluru ini bukan milik Densus. Peluru itu dari luar rumah. Apakah ini peluru yang dijanjikan oleh organisasi?!! Alla..hu aakbarr...ucapku pelan. Dan semua menjadi gelap. Gelap. Dan semakin gelap.

Diky Wiryawan

8 views0 comments

Recent Posts

See All

PEMUTUS RANTAI

Tidak pernah berdiri sendirian... Di rumah aja berarti membatasi sosialisasi, membatasi berdekatan dan bersentuhan, meregulasi ulang pola hidup sehat individu, menetapkan lagi tujuan hidup dan setelah

TUNDUK DAN TAKLUK

Dia akan pergi... Dia pasti akan pergi... Sebelum malam tiba... Entah kapan malam itu tiba... Dunia sedang belajar... Wabah yang mengagetkan Wabah yang mengingatkan Pemenang bukan mereka yang terhinda

bottom of page