top of page
  • Writer's picturediky wiryawan

SYAIR PENYIAR


Segera aku rogoh saku celana dan aku ambil kertas lusuh itu. Aku mulai membacakannya... ---------------------------------------------------------------------------------------------- Aku adalah seorang laki-laki penyiar. Di sebuah radio kecil, di kota tanpa pendengar. Dimana hutan dan hujan selalu berpelukan erat. Layaknya dua orang sahabat. Seperti biasa pelangi selalu jatuh tepat di pekarangan belakang, yang menungguiku belajar tentang arti keindahan. Perempuan. Pindahkan saja aku ke kota besar! Kota yang penuh gedung pencakar!! Mungkin aku tak kan lagi mempedulikan waktu yang bertransisi. Semua serba terukur materi. Tidak ada lagi pelangi yang selalu jatuh tepat di pekarangan belakang, yang menungguiku belajar tentang arti keindahan. Percintaan. Dimanapun aku...aku adalah aku... Tak peduli sampai mana suaraku kan habis terkikis kegelapan kota asal... Atau suara radioku ini akan dihabisi kesibukan kota besar yang penuh korupsi... Setiap kesempatan yang kupunya akan selalu kulontarkan tentang kegundahanku akan ketidakmampuanku memuja cinta yang kupunya untuk perempuan sepertimu. Aku akan gila...ya jadi orang gila...Gila yang aku buat sendiri... Aku akan jahat...ya jadi orang jahat...Jahat yang aku buat sendiri... Aku akan tetap bertahan, bertahan menjadi orang terakhir yang berkoar-koar tentang indahnya cinta di saat seluruh hati di dunia ini sudah sedemikian beku seperti batu...yang selalu menyudutkanku pada kenyataan bahwa statusku jauh berbeda...denganmu... Aku akan tetap bersyair, karena aku adalah penyiar. ---------------------------------------------------------------------------------------------- "Mmmm..maaf kalau sampai kejadiannya seperti ini..." kataku pendek. Aku lipat lagi kertas lusuh itu. "Ini semua sudah aku rencanakan jauh-jauh hari. Hal ini kulakukan karena aku terlalu lama ngefans sama kamu, sedangkan aku hanya seorang penyiar radio di kota kabupaten yang mungkin baru kali ini kamu kunjungi." "Aku hanya ingin kamu mendengar syairku...eh puisi..atau apapun orang menyebutnya. Tanpa minta jawaban atau respon darimu." "Tanganmu tidak sakit kan? Aku hanya mmmh...hanya ingin kamu tahu, ini bukan karena aku ingin melukaimu, tapi justru akulah orang yang paling memujamu. Sampai kapanpun. Sampai kamu punya suami dan anak atau sampai kamu lanjut usia kelak, kamu akan teringat, bahwa di kota terpencil seperti kotaku ini, pernah ada penyiar yang sangat ingin mengungkapkan rasa cinta kepadamu melalui syair. Meskipun harus menculikmu dari hotel tempatmu menginap." "Maaf ya...Sekali lagi maaf..." BEGITULAH YANG AKU LAKUKAN SETIAP SORE DATANG... BERLATIH DENGAN BICARA PADA PATUNG DI TENGAH KOLAM... HINGGA WAKTU ITU DATANG, SAAT AKU MENCULIKMU... HINGGA "SYAIR PENYIAR" INI AKU BACAKAN PADAMU HINGGA "SYAIR PENYIAR" INI AKAN MEMBUATMU TERINGAT PADAKU... KARENA HANYA ITU YANG BISA AKU ANDALKAN UNTUK MEMIKATMU DIAN SASTRO... taman balekambang, solo, 1 agustus 2009 inspirasi : 1. Patung di tengah kolam 2. Seorang teman penyiar radio yang selalu melukiskan indahnya cinta yang dia punya 3. Dian Sastro Wardoyo ncen idolaku...hehehe...tapi tenang aja, aku ra bakalan nyulik idolaku...

127 views0 comments

Recent Posts

See All

PEMUTUS RANTAI

Tidak pernah berdiri sendirian... Di rumah aja berarti membatasi sosialisasi, membatasi berdekatan dan bersentuhan, meregulasi ulang pola hidup sehat individu, menetapkan lagi tujuan hidup dan setelah

TUNDUK DAN TAKLUK

Dia akan pergi... Dia pasti akan pergi... Sebelum malam tiba... Entah kapan malam itu tiba... Dunia sedang belajar... Wabah yang mengagetkan Wabah yang mengingatkan Pemenang bukan mereka yang terhinda

bottom of page