Semakin dalam kita berpikir dalam proses menimba ilmu seharusnya mengantarkan manusia menjadi semakin "rendah hati", bukan sebaliknya. Maka seharusnya tidak ada profesor atau hafidz Qur'an yang sombong meskipun derajatnya ditinggikan oleh Allah SWT.
------------------------------------------
Kata menimba sering digunakan untuk menemani kata ilmu. Menimba ilmu. Karena untuk menjadi lebih berilmu, kita harus berusaha lebih dalam untuk menggalinya. Lebih dalam dari sebelumnya, tidak hanya puas di kulit luar atau permukaannya.
Salah satu caranya di An-Nahl : 43, muslim diperintahkan oleh Allah untuk menanyakan kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kita tidak mengetahui. Sekolah, les, seminar, diskusi, konsultasi bahkan mengaji adalah beberapa implementasi dari "menanyakan kepada yang lebih mengetahui". Untuk itu sikap yang relevan untuk orang yang telah menyelesaikan proses "menimba ilmu" itu justru "rendah hati". Karena kita tidak sedang "memetik ilmu", "meraih ilmu", "terbang mencari ilmu" atau istilah lain yang mungkin bisa membuat kita jadi "tinggi hati", sombong, pongah, arogan atau angkuh. Semakin berilmu harus semakin menunduk, seperti ilmu padi dalam peribahasa.
Kesadaran yang terbangun biasanya justru semakin orang paham tentang sesuatu, semakin dia sadar bahwa jauh lebih banyak yang tidak diketahuinya. Tapi struktur dan pola berpikir ini jadi hancur karena kita dikenalkan kalau sudah menyelesaikan belajar di tingkat tertentu maka akan "naik kelas". Bukan "turun kelas". Ini mungkin yang akan mempengaruhi secara psikologis bahwa anak kelas 6 SD merasa lebih hebat dari kelas 5 SD. Seorang profesor merasa lebih jago dari mahasiswa. Bukankah masing-masing orang berhak untuk berproses menyelesaikan penimbaan ilmunya sesuai dengan tingkatan disertai dengan konsep kerendahhatian yang benar?
Jadi bagaimana kalau anak playrgroup atau TK itu strata keilmuannya disebut S3?
Diky Wiryawan