Saya pernah nulis bahwa jati diri manusia aslinya akan jauh lebih terlihat di Tanah Haram. Sifat-sifat asli. Yah, ini memang cuma berdasarkan pengamatan. Jelas subyektif. Ketika kita mencoba menilai pribadi seseorang dari kesehariannya selama di Medinah atau di Mekkah, mungkin kita bisa punya bayangan pribadi beliau di kehidupannya di Indonesia. Hal yang sama ketika kita (mau gak mau) dilihat dan dinilai juga oleh orang lain. Ada ungkapan bahwa ber'besan' itu tidak saja menikahkan 2 orang anak, tapi sama saja mengawinkan 2 keluarga besar. Yang masing-masing memiliki resistensi sedemikian rupa karena sifat asli, tabiat, latar pendidikan, kehidupan sosial, pemikiran, sentuhan emosi dan lain sebagainya antara 2 keluarga bisa sama sekali berbeda. Tidak selamanya harus disamakan. Tidak selamanya juga harus isatukan. Tapi jauh lebih penting untuk diterima sebagai bingkai kebersamaan. Setidaknya selama di Medinah dan Mekkah. Ini respon saya ketika melihat sendiri, mendengar sendiri dan mencoba menilai pribadi 2 orang ibu-ibu sepuh yang berseteru seru (hampir setiap hari) karena hal yang (menurut saya) kecil. Hal yang dipertikaikan jelas tidak sebanding dengan bingkai kedekatan kebersamaan yang seharusnya bisa tetap dipertahankan tidak hanya di Tanah Haram, tetapi juga sepulang kembali ke Indonesia. Selama mereka masih ber'besan'. Â
top of page
Search
Recent Posts
See Allbottom of page