"Whalah...duitku kari sepuluh ewu" kataku dalam hati. Segera saja saya sodorkan uang lecek itu ke penjual burger pinggir jalan Parangtritis. Dari dulu saya lebih senang membayar di muka, walaupun makanan yang saya pesan belum selesai dimasak. Malem itu belum ada jam 9 tapi stock burgernya dah hampir habis terjual. Umurnya sekitar 40 tahun. Dia asli orang Jogokaryan. Di dahinya nampak sedikit hitam, mungkin karena sholatnya yang tidak pernah ditinggalkannya. Jujur, sebenarnya burger bikinannya biasa aja. Jelas kalah jauh dibanding burger McD yang telah mendunia dengan harga yang murah pula (paket goceng!!). Tapi cerita tentang keramahan dan keuletannya berwiraswasta dengan membuka warung burger sejak dia masih lajang memang cukup dikenal di daerah Mangkuyudan-Jogokaryan ini. Lagian kalo orang sekitar sini beli burger McD semua, bisa-bisa mematikan bisnis modal kecil seperti punya bapak ini. "Ciiiitttt...!!!" Tiba-tiba saya dikagetkan suara derit rem sepeda yang hampir menabrak motor yang saya parkir tepat di depan tenda merah pak burger. "Asyeeeemmm" kataku dalam hati. Ternyata sepeda penjual Sariroti. Sepeda yang terlihat tidak terawat itu disandarkan begitu saja di tembok belakang tempat pak burger mangkal. Rotinya masih banyak. Tanpa rasa bersalah dia menghampiri pak burger. "Ngopo'e mas kok mecucu wae? Ora payu po daganganmu?" tanya pak burger kepada mas roti. "Kowe penak pak, sing meh tuku wis do moro. Ra butuh nggenjot pit." katanya. "Halah kowe ki aneh mas...Wong carane dodolan ki dewe-dewe kok yo protes. Kudune kowe ki bersyukur isih iso nyambut gawe, isih diparingi awak sing sehat sing marai kowe iso dodolan tekan ngendi-ngendi, ojo mung sambat thok. Bel mu wis mbok benakke durung? kembali pak burger bertanya. "Lha iyo kuwi...wingi kan sempet ra iso...sorene iso meneh. Njuk iki mau sedino blas ora iso je. Dadi yo piye langgananku reti nek aku lewat ngarep omahe nek bel ku kuwi ora muni?" kata mas roti. Tampangnya masih masam. "Lha kok ora mbok dhandhakke wingi kuwi?" tanya pak burger. "Mau mbengi ono sinetron apik je ning TPI, njuk kelalen" jawab mas roti... Saya cuman tersenyum kecut. *** Banyak orang bilang kalo menunggu itu pekerjaan yang menyebalkan. Tapi buat saya pribadi KEBIASAAN MENUNDA PEKERJAAN itu juga menyebalkan. Apalagi kalo akhirnya kita sadar apa yang kita tunda itu berakibat fatal buat diri kita. Cuman biasanya kita sadar kalo sudah menunda pekerjaan itu setelah kita rasakan akibatnya. Mas roti tidak sadar bahwa dengan menunda untuk membenarkan bel nya akan berakibat rotinya besok hari tidak laku terjual. Akibatnya perusahaan roti tempat dia bekerja akan berkurang omset penjualannya hari itu. Akibatnya lagi dia akan kena tegur kalo jualannya terus-terusan tidak mencapai target. Akibatnya lagi dia bisa dikeluarkan dari pekerjaan. Akibatnya dia tidak bisa menafkahi istri dan anak-anaknya... Sangat wajar kalo sebuah perusahaan menuntut karyawannya untuk bekerja maksimal. Toh kita mendapat salary per bulan dari apa yang kita kerjakan kan? Jadi sangat wajar juga kalo sebuah perusahaan meminta kita menajamkan semua elemen di sekitar pekerjaan kita sebagai pendukung pekerjaan kita. Dan salah satunya adalah KORELASI WAKTU DENGAN PEKERJAAN. Apakah kita telah membuang-buang waktu kerja efektif dengan menunda apa yang seharusnya kita kerjakan? Apakah waktu kerja tersebut justru habis untuk YM dan FACEBOOK temen-temen main yang tidak berhubungan dengan pekerjaan? Mudah-mudahan anda membaca tulisan ini pun setelah pulang kerja atau waktu istirahat...:) Mmmm atau minimal semua tanggungjawab pekerjaan sudah terselesaikan...Semua kembali ke diri masing-masing untuk mencoba merekonstruksi pola pikir dan kebiasaan kita... "Ini mas burgernya..." katanya mengagetkanku.
Diky Wiryawan