Dari dulu saya tidak suka bercermin. Bukan karena malu melihat refleksi penampakan saya yang jelas jauh dari kata ganteng dan atletis. Tapi justru takut melihat apa yang tidak bisa ditampilkan dari diri saya di cermin ini. Karena potensi nilai dan sifat-sifat negatif yang melekat di diri saya, apa yang pernah, sedang dan akan saya katakan, apa yang pernah, sedang dan akan saya lakukan, termasuk semua yang ada dalam hati dan pikiran saya, semua bisa sama tinggi atau rendahnya dengan semua potensi nilai dan sifat-sifat positif yang juga melekat di diri saya. Dan itu semua tidak terlihat di cermin ini. Sejujur apapun cermin, dia hanya barang, lengkap dengan semua keterbatasannya.
Saya tidak pernah ingin menistakan agama, menyekutukan Allah, apalagi menodai ayat-ayat suci Al-Quran. Itu kalau parameter menistakan agama hanya yang diucapkan, baik sengaja atau tidak. Itu kalau parameternya hanya apa yang bisa dibuktikan secara formil materiil di meja persidangan. Tapi apakah benar demikian? Bagaimana kalau ternyata tanpa unsur kesengajaan, hati dan pikiran saya telah berpaling sekian detik, menit, jam, hari atau bahkan puluhan tahun dari-Nya. Apakah saya berarti telah menistakan agama? Sejujur apapun saya, saya hanya makhluk, lengkap dengan semua keterbatasan saya.
Bagaimana kalau cermin ini tidak lagi dikaruniai sifat jujur?
Tiba-tiba penampakan saya di cermin adalah pemimpin daerah yang muslim, selalu sopan dan hati-hati bicara, tetapi membiarkan semua tempat maksiat dan prostitusi sekelas Stadium dan Kalijodo tetap beroperasi di wilayah saya. Membiarkan korupsi merajalela di semua lapisan jajaran karyawan saya. Apakah itu berarti saya telah menistakan agama?
Saya bukan siapa-siapa, dan tidak ingin membela siapa-siapa. Saya cuman manusia yang ingin dianggap muslim oleh-Nya karena berusaha sekuat tenaga melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Bukan hanya karena apa yang saya lakukan, tetapi juga karena apa yang ada di hati saya. Jadi seharusnya agama yang membela saya. Bukan sebaliknya. Kuasa Allah tidak akan sedikitpun berkurang bahkan jika seluruh umat manusia ini tidak lagi menyembah-Nya dan memohon ampun pada-Nya.
Saya pandangi lagi cermin yang tergantung di dinding kamar. Beberapa jam ke depan, jutaan orang akan berkumpul di jalanan, mengawal fatwa MUI dan menuntut proses hukum tetap berjalan atas dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok, meskipun yang bersangkutan telah meminta maaf secara terbuka kepada umat Islam.
Teriring sebuah doa sederhana, "Ya Allah, mudahkan dan tegaskan niat siapapun yang dalam hatinya memang berserah diri pada Mu, tapi jangan Kau mudahkan mereka yang sedikitpun ada dalam hatinya dikotori tujuan lain yang tidak Kau ridhoi."
Cermin itu masih saja diam, seperti halnya saya. Kami hanya barang dan makhluk, lengkap dengan semua keterbatasannya.
Diky Wiryawan